Selasa, 11 Januari 2011

“Suami yang Baik”

Ada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin, ‘Aisyah Radliallahu Anhu dalam Sunan at-Tirmidzi, dinyatakan bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Sesungguhnya, wanita adalah patner bagi laki-laki.” 
(at-Tirmidzi, Hadist No. 113) 

Imam Ibn al-Jauzi Radliallahu Anhu berkata, “Laki-laki berusaha menarik wanita dan wanita pun demikian.”
Wanita berhak untuk memilih pasangan hidupnya sebagaimana dia juga punya hak untuk dimintai pendapatnya dalam keputusannya untuk hidup bersamanya dan hidup berada di bawah kekuasannya. Wali amr yang baik, orang yang biasa ayahnya, akan memilihkan seseorang untuk anak perempuannya yang baik agamanya, baik pula akhlaq dan karakternya. Imam al-Ghozali Radliallahu Anhu berkata bahwa ketika seorang wanita menikah maka dia menjadi seperti seorang budak. Nikah (pernikahan) adalah salah satu bentuk penghambaan bagi seorang wanita dan ini ditegaskan oleh hadist ‘Aisyah Radliallahu Anhu, dikatakan bahwa :
“Nikah adalah perbudakan, maka masing-masing dari kamu lihatlah (yaitu sebab-sebab) dimana dia memberikan anak perempuannya.”
Jadi wajib bagi ayah (atau wali amr) untuk memilihkan pasangan yang baik untuk anak perempuannya, sebagaimana kewajiban atas wanita untuk memilih patner yang baik agamanya. Akan tetapi bagaimana karakter dari suami/istri yang baik itu? Bagaimana seharusnya sifat-sifat dan prasyarat kualitas dari seseorang yang bisa dipertimbangkan sebagai patner yang baik? Bagaimana seharusnya wanita melihat/menilai seorang patner dan kepada siapa dia seharusnya setuju untuk memberikan kepemimpinan dan kekuasaan? Siapa yang seharusnya ia terima sebagai kapten kekuasaan? Siapa yang seharusnya ia terima sebagai kapten kapal, kapal dari kehidupannya, yang mana bersamanya ia akan menjalani kehidupan dalam keadaan sulit maupun senang?
1. Baik Agamanya
Ketika seseorang menikah maka mereka akan memasuki kehidupan bahagia dan tenang, atau kehidupan yang sengsara dan cemas. Inilah kenapa pentingnya membuat pilihan yang tepat pada permulaannya.
Pertama, sangat penting bagi wanita untuk memilih laki-laki yang baik agamanya (sholeh). Allah Subhaanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu.” (QS. Al-Baqarah, 2:221)
Tidak diragukan lagi, budak yang beriman jauh lebih baik daripada wanita musyrik, walaupun budak tersebut tidak memiliki uang atau harta.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliallahu Anhu bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Jika seseorang datang kepadamu (untuk meminta anak perempuanmu) dan kamu menyukai akhlaq dan dien (agama)nya, maka nikahkanlah mereka. Jika kamu tidak melakukannya maka akan timbul fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (Sunan Ibn Maajah dan lainnya)
Jadi laki-laki yang baik agamanya akan menjadi kandidat terbaik. Dia tidak akan pernah memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang buruk, tidak juga dia akan meninggalkannya. Dia tidak akan mengizinkan alkohol atau musik masuk ke rumahnya atau mengekspos istrinya untuk kemaksiatan/kemungkaran. Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Yang terbaik diantara kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya (istri, anak perempuannya, saudara perempuan) dan aku adalah orang yang terbaik di antara kamu dalam memperlakukan keluargaku.” (Sunan Ibn Maajah, Hadist No. 1977)
Jadi Nabi Salallahu Alaihi Wasallam mengindikasikan bahwa suami yang terbaik adalah orang yang berbuat baik terhadap istrinya dan keluarganya dan dia akan menjamin bahwa mereka tidak akan diekspos untuk kemungkaran atau kemaksiatan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, melalui proses pernikahan wanita masuk ke dalam bentuk perbudakan. Jadi jika seorang ayah memberikan anak perempuannya ke laki-laki yang tidak benar, orang yang memilih hukum buatan manusia, bersekutu dengan orang-orang kafir melawan orang-orang muslim, menyerukan toleransi antar-umat  beragama, percaya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam masih hidup, menyembah kuburan, meminta syafaat dari orang yang mati, atau membenci Muwahiddiin (muslim) dan Mujahidiin, atau memiliki karakter buruk lainnya, maka tidak diragukan lagi dia akan mendapatkan murka Allah. Seorang laki-laki pernah meminta nasehat dari Imaam al-Hasan Radliallahu Anhu dan mengatakan kepadanya bahwa ada sejumlah laki-laki yang datang kepadanya untuk meminta anak perempuannya supaya bisa dinikahinya, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang dipilihnya. Imam al-Hasan berkata, “Pilihlah seorang yang takut kepada Allah, jika dia mencintainya (anakmu) maka dia akan memuliakannya dan jika dia tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzoliminya.” Kita dapat belajar dari pernyataan di atas (dan peristiwa-peristiwa lainnya di masa lalu) bahwa kebiasaannya ayahlah yang mencarikan seorang suami untuk anak perempuannya. Dalam Islam, dipertimbangkan sebagai hal yang memalukan bagi soerang wanita yang mencari sendiri untuk calon suaminya, oleh karena itu, dia tidak seharusnya pergi/keluar untuk belanja atas satu kepentingan. Wanita sangat pemalu dan malu adalah bagian dari iman. Setelah Musa Alaihi Salam meninggalkan Mesir, dalam ketakutannya akan pengejaran, dia pergi ke kota Madyan. Di sana dia bertemu dengan seorang ayah dari 2 orang wanita, Bapak tersebut menawarkan salah satu dari anak perempuannya untuk dinikahinya :
“Berkatalah dia (Syu’aib) : “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (QS. Al-Qashas, 28:27)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah Radliallahu Anhu bahwa Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Jika seseorang datang kepadamu (untuk meminta anak perempuanmu) dan kamu menyukai akhlaq dan dien (agama)nya, maka nikahkanlah mereka. Jika kamu tidak melakukannya maka akan timbul fitnah di muka bumi ini dan tersebarlah kerusakan.” (Sunan Ibn Maajah dan lainnya)
Jadi laki-laki yang baik agamanya akan menjadi kandidat terbaik. Dia tidak akan pernah memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang buruk, tidak juga dia akan meninggalkannya. Dia tidak akan mengizinkan alkohol atau musik masuk ke rumahnya atau mengekspos istrinya untuk kemaksiatan/kemungkaran. Rasulullah Salallahu Alaihi Wasallam bersabda :
“Yang terbaik diantara kamu adalah yang terbaik terhadap keluarganya (istri, anak perempuannya, saudara perempuan) dan aku adalah orang yang terbaik di antara kamu dalam memperlakukan keluargaku.” (Sunan Ibn Maajah, Hadist No. 1977)
Jadi Nabi Salallahu Alaihi Wasallam mengindikasikan bahwa suami yang terbaik adalah orang yang berbuat baik terhadap istrinya dan keluarganya dan dia akan menjamin bahwa mereka tidak akan diekspos untuk kemungkaran atau kemaksiatan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, melalui proses pernikahan wanita masuk ke dalam bentuk perbudakan. Jadi jika seorang ayah memberikan anak perempuannya ke laki-laki yang tidak benar, orang yang memilih hukum buatan manusia, bersekutu dengan orang-orang kafir melawan orang-orang muslim, menyerukan toleransi antar-umat  beragama, percaya Nabi Salallahu Alaihi Wasallam masih hidup, menyembah kuburan, meminta syafaat dari orang yang mati, atau membenci Muwahiddiin (muslim) dan Mujahidiin, atau memiliki karakter buruk lainnya, maka tidak diragukan lagi dia akan mendapatkan murka Allah. Seorang laki-laki pernah meminta nasehat dari Imaam al-Hasan Radliallahu Anhu dan mengatakan kepadanya bahwa ada sejumlah laki-laki yang datang kepadanya untuk meminta anak perempuannya supaya bisa dinikahinya, akan tetapi tidak satupun dari mereka yang dipilihnya. Imam al-Hasan berkata, “Pilihlah seorang yang takut kepada Allah, jika dia mencintainya (anakmu) maka dia akan memuliakannya dan jika dia tidak menyukainya maka dia tidak akan mendzoliminya.” Kita dapat belajar dari pernyataan di atas (dan peristiwa-peristiwa lainnya di masa lalu) bahwa kebiasaannya ayahlah yang mencarikan seorang suami untuk anak perempuannya. Dalam Islam, dipertimbangkan sebagai hal yang memalukan bagi soerang wanita yang mencari sendiri untuk calon suaminya, oleh karena itu, dia tidak seharusnya pergi/keluar untuk belanja atas satu kepentingan. Wanita sangat pemalu dan malu adalah bagian dari iman. Setelah Musa Alaihi Salam meninggalkan Mesir, dalam ketakutannya akan pengejaran, dia pergi ke kota Madyan. Di sana dia bertemu dengan seorang ayah dari 2 orang wanita, Bapak tersebut menawarkan salah satu dari anak perempuannya untuk dinikahinya :
“Berkatalah dia (Syu’aib) : “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.” (QS. Al-Qashas, 28:27)
Nabi Salallahu Alaihi Wasallam berkata bahwa jenis laki-laki ini (Juraij) akan menjadi suami yang baik. Tujuan dari pernikahan bukan hanya untuk mendapatkan kesenangan akan tetapi (utamanya) untuk mendapatkan pasangan yang baik (sholeh) dan anak-anak yang baik. Jika orang tuanya baik (sholeh) maka anak-anaknya pun akan berbicara tentang kebenaran bahkan dari usia yang muda. Sa’id bin Musayyab (meninggal 94 H) adalah seorang ulama dan tabi’in yang besar namanya. Diceritakan bahwa anak perempuannya sangat cantik, bijaksana, akhlaqnya baik dan pemalu. Dia juga sangat luas ilmunya dan ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Sunnah telah dia pelajari dengan baik karena dia belajar dari ayahnya. Kholifah pada waktu itu, Abdul Malik bin Marwaan, datang kepada Said untuk menikahkan anak perempuannya dengan anak laki-lakinya, al-Walid bin Abdil Malik, akan tetapi Sa’id menolak, walaupun al-Walid sangat kaya, berpendidikan, pintar dan tidak menyebut anak laki-lakinya dari kholifah. Meskipun demikian, Sa’id tidak menikahkan anak perempuannya kepada al-Walid. Melainkan dia memilih salah seorang dari muridnya, Katsir bin Abii Wuda’ah, seorang yang sangat miskin dimana dia tidak mampu untuk membayar pernikahan maupun mahar.
Sa’id memutuskan untuk mengirimkan 5.000 dirham kepada Katsir dan mengatakan kepadanya untuk meminta anak perempuannya serta menikahinya. Katsir menerima pemberian tersebut dan menyimpannya untuk mahar. Dia adalah orang yang sangat dekat dengan Sa’id dan pengagum besarnya. Setelah melalui beberapa malam bersama istrinya, Katsir mengatakan kepada istrinya bahwa dia akan pergi untuk menghadiri salah satu taklim ayahnya (Sa’id) karena dia tidak ingin absen satupun dari perputaran ilmu yang diberikan ayah dari istrinya itu. Istrinya berkata kepadanya, “Duduklah di sini dan aku akan mengajarimu pengetahuan dari ayahku.” Kemudian dia duduk bersamanya dan mengajarkannya beberapa ilmu yang telah disampaikan oleh ayahnya. Bukan hanya mendapatkan istri yang baik bagi Katsir, akan tetapi dia juga mendapatkan guru yang besar. Jika dia absen dari taklim ilmu yang diberikan Sa’id dia dapat belajar dari istrinya. Tabi’in besar ini yaitu Sa’id bin Musayyab, memilih seorang pembantu yang miskin untuk anak perempuannya, yang mana kebaikannya melebihi dari anak kholifah karena dia tahu bahwa dia adalah seorang laki-laki yang bertaqwa dalam beragama dan ini lebih penting bagi dirinya. Ada seorang laki-laki yang dipanggil dengan nama Thaabit bin Ibraahiim Radliallahu Anhu, suatu ketia dia melewati sebuah kebun. Thaabit merasa sangat lapar karenanya dia memetik sebuah apel dari kebun dan mulai memakannya. Tiba-tiba dia teringat bahwa dia belum mendapatkan ijin untuk makan buah tadi karena buah tersebut bukan miliknya. Kemudian dia masuk ke dalam kebun dalam rangka untuk meminta maaf dari pemiliknya. Setelah masuk ke dalam kebun dia mendapati seorang laki-laki ada di sana dan kepadanya ia minta maaf. Adapun laki-laki tadi berkata kepadanya bahwa dia tidak memiliki kekuasaan untuk memaafkan (karena dia bukanlah pemiliknya). Dia mengatakan kepada Thaabit bahwa majikannya, orang yang jauh dan jika dia ingin bertemu dengannya dia membutuhkan perjalanan selama 1 hari 1 malam. Thaabit menjawab, “Demi Allah, aku akan pergi menemuinya, tidak masalah seberapa jauh itu.”
Thaabit memiliki alasan yang baik karena berkaitan dengan ini Rasulullah Muhammad Salallahu Alaihi Wasallam bersabda dalam sebuah hadits :
“Daging yang tumbuh dari barang yang haram, maka nerakalah tempat untuknya.” (Mu’jam at-Tabaraani al-Kabir dan lainnya)
Hadits ini mengajarkan kepada kita bahwa jika seseorang makan dari sesuatu yang haram dalam keluarga mereka maka potongan daging yang tumbuh dari apa yang mereka konsumsi akan berada dalam neraka. Berapa banyak orang-orang saat ini makan bersama dengan orang-orang yang dicintainya (ibu mereka, ayah dan anak-anak mereka) dari sesuatu yang haram yang mereka peroleh dari riba, judi atau hasil penipuan? Thaabit meninggalkan perjalanannya dan berjalan selama satu hari satu malam hingga dia sampai kepada laki-laki yang dituju. Thaabit meminta maaf kepadanya, akan tetapi mempertimbangkannya laki-laki tadi menjawab, “Demi Allah, aku hanya akan memaafkanmu dengan satu syarat. “Apa syarat itu?” tanya Thaabit. “Aku hanya akan memaafkanmu jika kamu menikahi anak perempuanku, karena kamu makan dari kebunku tanpa permisi.” Thaabit setuju untuk menikahi anak perempuannya akan tetapi baru saja dia akan meninggalkan laki-laki tadi, laki-laki tadi berkata, “Akan tetapi dia adalah seorang yang tuli, buta dan cacat.” Thaabit berkata, “Kamu meminta begitu banyak, akan tetapi apakah kamu yakin bahwa kamu akan memaafkan aku?”. “Ya,” jawab laki-laki tersebut. Thaabit tetap setuju untuk menikahi anak perempuannya dan melihatnya setelah dia telah mendapatkan maaf dari laki-laki tadi. Setelah beberapa waktu, aqad nikah pun dilaksanakan. Thaabit masuk ke ruangan untuk melihat pengantin wanitanya untuk pertama kalinya (terlintas dalam pikirannya pandangan-pandangan yang telah disampaikan kepadanya sebelum menikah). Tatkala masuk ke dalam ruangan dia tidak tahu apakah memberikan salam kepadanya sebab dikatakan kepadanya bahwa dia adalah seorang yang tuli. Namun demikian, dia tetap mengucapkan, “Assalamu’alaikum,” harapannya setidaknya para malaikatlah yang akan menjawab. Akan tetapi alangkah terkejutnya ia, wanita (istrinya) menjawab, “Wa’alaikumus salam wa rahmatullah.” Wanita tersebut kemudian berdiri, berjalan menghampirinya dan memegang tangannya. Saat peristiwa tersebut, Thaabit sadar bahwa wanita tersebut tidak seperti yang ayahnya gambarkan. “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kamu buta,” tanya Thaabit. “Ya, saya buta. Mata saya tidak pernah melihat sesuatu yang terlarang dan saya tidak pernah melihat laki-laki lain sebelumnya,” jawab wanita itu. “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kamu tuli,” kata Thaabit. “Ya, aku tidak pernah mendengarkan sesuatu yang dapat membuat Allah marah,” jawabnya. “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kami tidak bisa berbicara.” “Ya, aku tidak pernah sama sekali berkata apapun sebelumnya selain dzikir dan tasbih,” jawabnya. “Ayahmu mengatakan kepadaku bahwa kamu cacat (lumpuh).” “Ya, kakiku tidak pernah membawaku ke tempat yang bisa menjadi murka Allah,” jawabnya. Wajahnya bersinar-sinar seperti badr (bulan penuh, di pertengahan bulan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar